Ringan di Lisan Berat di Timbangan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua buah kalimat yang ringan di lisan namun berat di dalam timbangan, dan keduanya dicintai oleh ar-Rahman, yaitu ‘Subhanallahi wabihamdihi, subhanallahil ‘azhim’.” (HR. Bukhari [7573] dan Muslim [2694])

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Kedua kalimat ini merupakan penyebab kecintaan Allah kepada seorang hamba.” Beliau juga berpesan, “Wahai hamba Allah, sering-seringlah mengucapkan dua kalimat ini. Ucapkanlah keduanya secara kontinyu, karena kedua kalimat ini berat di dalam timbangan (amal) dan dicintai oleh ar-Rahman, sedangkan keduanya sama sekali tidak merugikanmu sedikitpun sementara keduanya sangat ringan diucapkan oleh lisan, ‘Subhanallahi wabihamdih, subhanallahil ‘azhim’. Maka sudah semestinya setiap insan mengucapkan dzikir itu dan memperbanyaknya.” (Syarh Riyadh as-Shalihin, 3/446).

Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Allah dengan nama-Nya ar-Rahman –Yang Maha pemurah-. Hikmahnya adalah –wallahu a’lam- karena untuk menunjukkan keluasan kasih sayang Allah ta’ala. Sebagai contohnya, di dalam hadits ini diberitakan bahwa Allah berkenan memberikan balasan pahala yang banyak walaupun amal yang dilakukan hanya sedikit (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/883)

Subhanallahi Wabihamdih
Makna ucapan subhanallah –Maha suci Allah- adalah; anda menyucikan Allah ta’ala dari segala aib dan kekurangan dan anda menyatakan bahwa Allah Maha sempurna dari segala sisi. Hal itu diiringi dengan pujian kepada Allah –wabihamdih- yang menunjukkan kesempurnaan karunia dan kebaikan yang dilimpahkan-Nya kepada makhluk serta kesempurnaan hikmah dan ilmu-Nya (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446)

Apabila telah terpatri dalam diri seorang hamba mengenai pengakuan dan keyakinan terhadap kesucian pada diri Allah dari segala kekurangan dan aib, maka secara otomatis akan terpatri pula di dalam jiwanya bahwa Allah adalah Sang pemilik berbagai kesempurnaan sehingga yakinlah dirinya bahwa Allah adalah Rabb bagi seluruh makhluk-Nya. Sedangkan keesaan Allah dalam hal rububiyah tersebut merupakan hujjah/argumen yang mewajibkan manusia untuk mentauhidkan Allah dalam hal ibadah –tauhid uluhiyah-. Dengan demikian maka kalimat ini mengandung penetapan kedua macam tauhid tersebut –rububiyah dan uluhiyah- (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/885)

Makna pujian kepada Allah
Al-Hamdu atau pujian adalah sanjungan kepada Allah dikarenakan sifat-sifat-Nya yang sempurna, nikmat-nikmat-Nya yang melimpah ruah, kedermawanan-Nya kepada hamba-Nya, dan keelokan hikmah-Nya. Allah ta’ala memiliki nama, sifat dan perbuatan yang sempurna. Semua nama Allah adalah nama yang terindah dan mulia, tidak ada nama Allah yang tercela. Demikian pula dalam hal sifat-sifat-Nya tidak ada sifat yang tercela, bahkan sifat-sifat-Nya adalah sifat yang sempurna dari segala sisi. Perbuatan Allah juga senantiasa terpuji, karena perbuatan-Nya berkisar antara menegakkan keadilan dan memberikan keutamaan. Maka bagaimana pun keadaannya Allah senantiasa terpuji (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah karya Syaikh as-Sa’di, hal. 7)

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “al-hamdu adalah mensifati sesuatu yang dipuji dengan sifat-sifat sempurna yang diiringi oleh kecintaan dan pengagungan -dari yang memuji-, kesempurnaan dalam hal dzat, sifat, dan perbuatan. Maka Allah itu Maha sempurna dalam hal dzat, sifat, maupun perbuatan-perbuatan-Nya.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 10)

Subhanallahil ‘Azhim
Makna ucapan ini adalah tidak ada sesuatu yang lebih agung dan berkuasa melebihi kekuasaan Allah ta’ala dan tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya daripada-Nya, tidak ada yang lebih dalam ilmunya daripada-Nya. Maka Allah ta’ala itu Maha agung dengan dzat dan sifat-sifat-Nya (lihat Syarh Riyadh as-Shalihin li Ibni Utsaimin, 3/446).

Hal itu menunjukkan keagungan, kemuliaan, dan kekuasaan Allah ta’ala, inilah sifat-sifat yang dimiliki oleh-Nya. Di dalam bacaan dzikir ini tergabung antara pujian dan pengagungan yang mengandung perasaan harap dan takut kepada Allah ta’ala (lihat Taudhih al-Ahkam, 4/884-885).

Pengaruh Ibadah Bagi Seorang Muslim

Syariat Islam yang mencakup akidah (keyakinan), ibadah dan mu’amalah, diturunkan oleh Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang maha tinggi dan hikmah-Nya yang maha sempurna, untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup manusia. Karena termasuk fungsi utama petunjuk Allah Ta’ala dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari semua kotoran dan penyakit yang menghalanginya dari semua kebaikan dalam hidupnya.

Allah Ta’ala berfirman,

{لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}

Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan (hati/jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur-an) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS Ali ‘Imraan:164).

Makna firman-Nya “mensucikan (Hati/jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah Ta’ala)[1].

Maka kebersihan hati seorang muslim merupakan syarat untuk mencapai kebaikan pada dirinya secara keseluruhan, karena kebaikan seluruh anggota badannya tergantung dari baik/bersihnya hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إلا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب

Ketahuilah, bahwa dalam tubuh manusia terdapat segumpal (daging), yang kalau segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh (anggota) tubuhnya, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh (anggota) tubuhnya), ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati (manusia)[2].

Hikmah Agung Disyariatkannya Ibadah

Inilah hikmah agung disyariatkannya ibadah kepada manusia, sebagaimana yang Allah Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[3] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).

Ayat ini menunjukkan bahwa kebaikan dan kemashlahatan merupakan sifat yang selalu ada pada semua ibadah dan petunjuk yang diserukan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini sekaligus menjelaskan manfaat dan hikmah agung dari semua ibadah yang Allah Ta’ala syariatkan, yaitu bahwa hidup (bersih dan sucinya)nya hati dan jiwa manusia, yang merupakan sumber kebaikan dalam dirinya[4], hanyalah bisa dicapai dengan beribadah kepada Allah dan menetapi ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya r[5].

Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – menjelaskan hikmah yang agung ini dalam ucapan beliau,

“Bukanlah tujuan utama dari semua ibadah dan perintah (Allah dalam agama Islam) untuk memberatkan dan menyusahkan (manusia), meskipun hal itu (mungkin) terjadi pada sebagian dari ibadah dan perintah tersebut sebagai (akibat) sampingan, karena adanya sebab-sebab yang menuntut kemestian terjadinya hal tersebut, dan ini merupakan konsekwensi kehidupan di dunia. Semua perintah Allah (dalam agama Islam), hak-Nya (ibadah) yang Dia wajibkan kepada hamba-hamba-Nya, serta semua hukum yang disyariatkan-Nya (pada hakekatnya) merupakan qurratul ‘uyuun (penyejuk pandangan mata), serta kesenangan dan kenikmatan bagi hati (manusia), yang dengan (semua) itulah hati akan terobati, (merasakan) kebahagiaan, kesenangan dan kesempurnaan di dunia dan akhirat. Bahkan hati (manusia) tidak akan merasakan kebahagiaan, kesenangan dan kenikmatan yang hakiki kecuali dengan semua itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

{يا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ، قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ}

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah:”Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS.Yuunus:57-58)[6].

Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma sewaktu beliau berkata, “Sesungguhnya (amal) kebaikan (ibadah) itu memiliki (pengaruh baik berupa) cahaya di hati, kecerahan pada wajah, kekuatan pada tubuh, tambahan pada rezki dan kecintaan di hati manusia, dan (sebaliknya) sungguh (perbuatan) buruk (maksiat) itu memiliki (pengaruh buruk berupa) kegelapan di hati, kesuraman pada wajah, kelemahan pada tubuh, kekurangan pada rezki dan kebencian di hati manusia”[7].

Pengaruh Positif Ibadah bagi Seorang Muslim

Untuk memperjelas keterangan di atas, berikut ini kami akan sampaikan beberapa poin penting yang menunjukkan besarnya pengaruh positif ibadah dan amal shaleh yang dilaksanakan seorang muslim dalam hidupnya.

1- Kebahagiaan dan kesenangan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat

Allah Ta’ala berfirman,

{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh (ibadah), baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. an-Nahl:97).

Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan (hidup)” atau “rezki yang halal dan baik” dan kebaikan-kebaikan lainnya yang mencakup semua kesenangan hidup yang hakiki[8].

Sebagaimana orang yang berpaling dari petunjuk Allah dan tidak mengisi hidupnya dengan beribadah kepada-Nya, maka Allah Ta’ala akan menjadikan sengsara hidupnya di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى}

Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS Thaaha:124)[9].

2- Kemudahan semua urusan dan jalan keluar/solusi dari semua masalah dan kesulitan yang dihadapi

Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaaq:2-3).

Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah yang wajib dan sunnah (anjuran), serta menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allah Ta’ala[10].

Dalam ayat berikutnya Allah berfirman,

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4). Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[11].

3- Penjagaan dan taufik dari Allah Ta’ala

Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdullah bin Abbas

((احفظ الله يحفظك، احفظ الله تجده تجاهك))

Jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu[12].

Makna “menjaga (batasan-batasan/syariat) Allah” adalah menunaikan hak-hak-Nya dengan selalu beribadah kepadanya, serta menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya[13]. Dan makna “kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu“: Dia akan selalu bersamamu dengan selalu memberi pertolongan dan taufik-Nya kepadamu[14].

Keutamaan yang agung ini hanyalah Allah Ta’ala peruntukkan bagi orang-orang yang mendapatkan predikat sebagai wali (kekasih) Allah Ta’ala, yang itu mereka dapatkan dengan selalu melaksanakan dan menyempurnakan ibadah kepada Allah Ta’ala, baik ibadah yang wajib maupun sunnah (anjuran). Dalam sebuah hadits qudsi yang shahih, Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah menyatakan perang (pemusuhan) terhadapanya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (ibadah) yang lebih Aku cintai dari pada (ibadah) yang Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan (ibadah-ibadah) yang sunnah (anjuran/tidak wajib) sehingga Akupun mencintainya…[15].

4- Kemanisan dan kelezatan iman, yang merupakan tanda kesempurnaan iman

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

((ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد رسولاً))

Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Ta’ala sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya[16].

Imam an-Nawawi – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika menjelaskan hadits di atas, berkata, “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata)”[17].

Sifat inilah yang dimiliki oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang semua itu mereka capai dengan taufik dari Allah Ta’ala, kemudian karena ketekunan dan semangat mereka dalam menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

{وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ}

Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS al-Hujuraat:7).

5- Keteguhan iman dan ketegaran dalam berpegang teguh dengan agama Allah

Allah Ta’ala berfirman,

{يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ}

Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” (QS Ibrahim:27).

Ketika menafsirkan ayat ini Imam Qatadah[18] berkata, “Adapun dalam kehidupan dunia, Allah meneguhkan iman mereka dengan perbuatan baik (ibadah) dan amal shaleh (yang mereka kerjakan)”[19].

Fungsi ibadah dalam meneguhkan keimanan sangat jelas sekali, karena seorang muslim yang merasakan kemanisan dan kenikmatan iman dengan ketekunannya beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka setelah itu – dengan taufik dari Allah Ta’ala – dia tidak akan mau berpaling dari keimanan tersebut meskipun dia harus menghadapi berbagai cobaan dan penderitaan dalam mempertahankannya, bahkan semua cobaan tersebut menjadi ringan baginya.

Gambaran inilah yang terjadi pada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keteguhan mereka sewaktu mempertahankan keimanan mereka menghadapi permusuhan dan penindasan dari orang-orang kafir Quraisy, di masa awal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahkan Islam. Sebagaimana yang disebutkan dalam kisah dialog antara Abu Sufyan dan raja Romawi Hiraql, yang kisah ini dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara pertanyaan yang diajukan oleh Hiraql kepada Abu Sufyan waktu itu, “Apakah ada di antara pengikut (sahabat) Nabi itu (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang murtad (meninggalkan) agamanya karena dia membenci agama tersebut setelah dia memeluknya?” Maka Abu Sufyan menjawab, “Tidak ada“. Kemudian Hiraql berkata, “Memang demikian (keadaan) iman ketika kemanisan iman itu telah masuk dan menyatu ke dalam hati manusia[20].



[1] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (1/267).

[2] HSR al-Bukhari (no. 52) dan Muslim (no. 1599).

[3] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).

[4] Lihat kitab “Ighaatsatul lahfaan” (hal. 55 – Mawaaridul amaan).

[5] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam “Taisirul Kariimir Rahmaan” (hal. 213).

[6] Kitab “Ighaatsatul lahfaan” (hal. 75-76 – Mawaaridul amaan).

[7] Dinukil oleh imam Ibnu Taimaiyah dalam kitab “al-Istiqaamah” (1/351) dan Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 43).

[8] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/772).

[9] Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab “Ighaatsatul lahfaan” (hal. 60 – Mawaaridul amaan).

[10] Lihat penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali dalam “Jaami’ul uluumi wal hikam” (hal. 197).

[11] Tafsir Ibnu Katsir (4/489).

[12] HR at-Tirmidzi (no. 2516), Ahmad (1/293) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Shahihul jaami’ish shagiir” (no. 7957).

[13] Lihat penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali dalam “Jaami’ul uluumi wal hikam” (hal. 229).

[14] Ibid (hal. 233).

[15] HSR al-Bukhari (no. 6137).

[16] HSR Muslim (no. 34).

[17] Syarh shahih Muslim (2/2).

[18] Beliau adalah Qatadah bin Di’aamah As Saduusi Al Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r (lihat kitab “Taqriibut tahdziib”, hal. 409).

[19] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (2/700).

[20] HSR al-Bukhari (no. 7).

10 Nasihat Ibnul Qayyim Untuk Bersabar Agar Tidak Terjerumus Dalam Lembah Maksiat

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi dan Rasul paling mulia. Amma ba’du.

Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menggapai kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat:

Pertama, hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah perbuatan maksiat. Dan hendaknya dia memahami bahwa Allah mengharamkannya serta melarangnya dalam rangka menjaga hamba dari terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah sebagaimana penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi menjaga anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya.

Kedua, merasa malu kepada Allah… Karena sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya dan menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia akan merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat murka Rabbnya… Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati yang akan membuat Anda bisa melihat seolah-olah Anda sedang berada di hadapan Allah…

Ketiga, senantiasa menjaga nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan mengingat-ingat perbuatan baik-Nya kepadamu.

Apabila engkau berlimpah nikmat

maka jagalah, karena maksiat

akan membuat nikmat hilang dan lenyap

Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu sendiri.

Keempat, merasa takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukuman-Nya

Kelima, mencintai Allah… karena seorang kekasih tentu akan menaati sosok yang dikasihinya… Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh lemahnya rasa cinta.

Keenam, menjaga kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara kehormatan dan kebaikannya… Sebab perkara-perkara inilah yang akan bisa membuat dirinya merasa mulia dan rela meninggalkan berbagai perbuatan maksiat…

Ketujuh, memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri… karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati…

Kedelapan, memupus buaian angan-angan yang tidak berguna. Dan hendaknya setiap insan menyadari bahwa dia tidak akan tinggal selamanya di alam dunia. Dan mestinya dia sadar kalau dirinya hanyalah sebagaimana tamu yang singgah di sana, dia akan segera berpindah darinya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan mendorong dirinya untuk semakin menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas akan membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat apa-apa.

Kesembilan, hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah… waktu senggang dan lapang yang dia miliki… karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa kegiatan… sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya baginya.

Kesepuluh, sebab terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di atas… yaitu kekokohan pohon keimanan yang tertanam kuat di dalam hati… Maka kesabaran hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya. Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat… dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun melemah… Dan barang siapa yang menyangka bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia telah keliru